segunda-feira, 19 de dezembro de 2011

sombong



Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia
melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember
dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras.
Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, "Apa yang sedang Anda
lakukan?"

Sang Guru menjawab, "Tadi saya kedatangan
serombongan tamu yang meminta nasihat.
Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.
Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka
pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat.
Kesombongan saya mulai bermunculan.
Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan
sombong saya."

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi
kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari.
Ditingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa
lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor
kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih
berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor
kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah,
dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan,
semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat
mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena
kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk
benih-benih halus didalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang
berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga
diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi,
begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah
berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong
tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di
satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir
ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan
tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih
dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu
mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju
kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme
ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah
akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan
menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala
bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.
Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah
makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah
spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia.
Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati
dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat
semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi
terkelabui oleh penampilan, label, dan segala "tampak luar" lainnya.
Yang kini kita lihat adalah "tampak dalam". Pandangan seperti ini akan
membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan
baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi
diri kita sendiri.
Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah
juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.
Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi
itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang
kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan,
cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi,
setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat
baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?



Nenhum comentário:

Postar um comentário